KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) menyebutkan kondisi industri kayu lapis masih kalah jauh jika berkaca pada sejarah bahwa industri ini pernah berjaya 20 tahun silam. Sekitar tahun 1987-1997 industri kayu lapis menjadi primadona ekspor non migas.
Dengan kontribusi devisa rata-ratanya mencapai US$ 3,4 miliar per tahun dengan volume ekspor rata-ratanya sebesar 8,4 juta m3 per tahun.
Kini, kata Martias ekspor kayu lapis tinggal sekitar 3 juta m3 dengan nilai sekitar US$ 1,9 miliar. Nilainya jatuh 45% dan volumenya jeblok 63% jika dibanding masa keemasannya. Penyebab tingginya biaya produksi kayu lapis akibat kenaikan harga kayu bulat, BBM, TDL, dan UMR. Selain itu industri kayu lapis diklaimnya harus menambah lebih dari 50% ekstra modal kerja akibat menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan memakan waktu yang lama. “Memakan waktu lama sampai dua tahun, berakibat mengganggu cash flow perusahaan,” terangnya.
Dalam acara Munas VIII Apkindo ini Martias sebut sebagai momentum untuk mengembalikan kejayaan itu. Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan dunia terhadap produk kayu lapis terus meningkat seiring kemajuan ekonomi dunia. Sementara Indonesia punya potensi dibanding negara luar yang butuh 30-40 tahun untuk panen. Sementara di Indonesia dengan kelebihan matahari dan air penuh selama 12 hanya butuh 8-10 tahun untuk panen. Untuk Martias sebut harus ada kebijakan yang menjamin ketersediaan bahan baku. Sumber bahan baku berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI).
Sementara, HTI tidak berkembang karena tidak mendapat dana pinjaman. Sedangkan HTI hanya berupa SKPHTI dari Menteri LHK yang mana berbeda dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh BPN. “Kalau ada pemerintah memberikan kebijakan khusus Tanaman HTI itu bisa dijaminkan dengan fidusia. Fidusia itu berarti menilai dari tanaman dan di cover, kalau kebakaran di cover dengan asuransi. Bank itu kan aman. Kalau itu bisa dapat. Jadikan perusahaan yang tanam HTI itu kan equity sendiri kan lebih gampang,” harapannya Selain itu terkait hutan rakyat, menurutnya pengusaha bisa tidak bisa dipakai 100%. Terutama di luar pulau Jawa karena tidak cocok menggunakan sistem sengon. Untuk itu perlu peningkatan di luar pulau karena Ia melihat potensi yang besar.
“Di Luar jawa, sengon itu tidak bisa tumbuh dengan baik. Karena kesuburan tanah. Kita menghendaki tidak hanya pulau jawa. Pulau jawa butuh hutan tanaman yang mendukung industri yang ada. Selama ini hutan tanaman mendukung industri pulp and paper. Harusnya bisa di kembang untuk industri kayu,” ungkapnya. Untuk tahun depan, menurutnya tidak akan jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Untuk kebangkitan, perlu sekitar 5-10 tahun ke depan agar industri ini bisa kembali menanjak naik. Itu apabila pembangunan HTI-nya dapat dioptimalkan. Kemudian juga didukung oleh semua pihak agar dapat membuat bahan baku menjadi murah tapi tidak mengurangi kualitas produksi kayu lapis. “5-10 tahun ke depan kita bakal maju. Hutan tanaman sudah kita bangun, lahan-lahan yang kita pakai sudah menyesuaikan. Kita bisa bersaing dengan luar. Domestik market itu sangat pesat sekali. Jangan sampai kita kita punya hutan, kita punya kayu, tapi kita impor,” ujarnya .