Jakarta, 6 Agustus 2025 — Di sebuah ruang rapat di lantai 7 Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Rabu pagi itu, deretan kursi sudah terisi penuh. Para pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) duduk berhadapan dengan pejabat Direktorat Antikorupsi Badan Usaha. Suasana terasa formal tapi tidak kaku — ada rasa urgensi di udara. Tidak heran, topik yang dibahas hari itu menyentuh urat nadi bisnis sekaligus menyentuh ranah hukum: pencegahan korupsi di dunia usaha. Perwakilan Satuan Tugas III Direktorat Antikorupsi Badan Usaha, membuka diskusi dengan penegasan bahwa korupsi di sektor swasta bukan sekadar potensi pelanggaran hukum, tapi juga ancaman terhadap daya saing nasional. “Korupsi bukan hanya merugikan negara, tapi juga menggerus kepercayaan pasar. Di industri yang kompetitif seperti plywood, reputasi adalah mata uang,” katanya.
Salah satu materi utama yang dipaparkan adalah konsep Pentagon Fraud — lima faktor penyebab korupsi yang selama ini diamati KPK di berbagai sektor. Pertama, Pressure atau tekanan, baik dari dalam (target pribadi, beban perusahaan) maupun luar (kompetisi pasar, tekanan politik). Kedua, Opportunity atau peluang yang tercipta karena lemahnya sistem dan pengawasan. Ketiga, Capability, yakni kemampuan memanfaatkan celah melalui jabatan, wewenang, atau pengetahuan atas sistem. Keempat, Arrogance, kesombongan dan keyakinan bahwa aturan tidak berlaku untuk dirinya. Dan terakhir, Rationalization, pembenaran moral bahwa tindakan yang diambil “wajar” atau “demi kebaikan bersama”. “Kalau lima unsur ini bertemu, tinggal tunggu waktu saja sebelum terjadi penyimpangan,” ujar pejabat perwakilan KPK tersebut. Bagi APKINDO, pemahaman lima faktor ini penting sebagai early warning system di lingkungan perusahaan.
Perwakilan APKINDO yang juga pelaku usaha industri kayu lapis, kemudian memaparkan berbagai pengalaman empiris di lapangan yang membuat “opportunity” dalam Pentagon Fraud kerap terbuka lebar dengan memberikan berbagai kisah ulah beberapa oknum nakal. KPK mencatat semua masukan dari pelaku usaha sebagai salah satu potensi rawan yang harus diawasi bersama.
Dalam strategi pemberantasan korupsi, KPK mengusung tiga pilar: pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Pilar pendidikan bertujuan membentuk mindset “tidak ingin korupsi” melalui internalisasi nilai integritas sejak awal, baik bagi pegawai baru maupun pimpinan. Pilar pencegahan membangun sistem yang membuat orang “tidak bisa korupsi”, seperti kontrol berlapis, transparansi transaksi, dan audit berkala. Sedangkan pilar penindakan memberikan efek jera sehingga orang “takut korupsi”. APKINDO menilai konsep ini bisa diintegrasikan ke mekanisme asosiasi dan internal perusahaan para anggotanya misalnya dengan membuat kode etik yang memuat sanksi tegas terhadap pelanggaran, serta program edukasi antikorupsi.
KPK juga menyajikan statistik penanganan perkara sejak 2004 hingga triwulan pertama 2025. Data menunjukkan suap/gratifikasi menempati urutan pertama (1.064 kasus), disusul pengadaan barang/jasa pemerintah (423 kasus), penyalahgunaan anggaran (57 kasus), pungutan/pemerasan (44 kasus), perizinan (28 kasus), hingga tindak pidana pencucian uang (64 kasus). Berdasarkan profesi, pelaku terbanyak berasal dari sektor swasta (483 kasus), diikuti pejabat eselon I–III (437 kasus), anggota DPR/DPRD (363 kasus), serta kepala daerah dan aparat lainnya. Statistik ini menegaskan bahwa sektor swasta bukan sekadar “penonton” dalam peta korupsi nasional, tapi juga pemain yang signifikan.
Dari perspektif APKINDO, risiko-risiko ini sangat nyata di industri termasuk industri plywood. Pengurusan berbagai macam perizinan bisa saja "menjadi pintu/peluang" baik bagi oknum pelaku usaha maupun oknum petugas nakal melakukan transaksi ilegal yang tergolong korupsi. Salah seorang perwakilan pengusaha menuturkan, “Kadang godaan itu datang bukan karena kita mencari, tapi karena sistem memberi ruang dan situasi memaksa hal tersebut terjadi. Pengusaha pada dasarnya hanya “berusaha” dengan segala macam daya upaya agar usahanya tetap berjalan mengingat banyaknya buruh/pekerja yang bergantung pada jalannya roda perusahaan. Bayangkan jika sehari saja perusahaan berhenti, berapa ratus bahkan ribuan buruh yang akan rugi? Bagaimana jika kemacetan terjadi di banyak industri? Kalau ruang itu tidak kita tutup, ya sama saja kita mengundang masalah.” Selain membedah risiko, pertemuan ini juga membahas langkah konkret pencegahan.
APKINDO dan KPK sepakat bahwa melawan praktik seperti ini tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan sinergi antara dunia usaha (asosiasi), aparat penegak hukum, dan pembuat kebijakan. KPK mengamini, dan menambahkan bahwa pencegahan korupsi di sektor swasta adalah bagian dari menjaga fairness pasar.
Pertemuan berakhir dengan komitmen bersama jangka panjang: APKINDO dan KPK akan tetap menjalin kolaborasi dan jika perlu mengadakan forum diskusi serupa dengan forum asosiasi gabungan (seperti FKMPI). Ada pepatah yang mengatakan “Bersih itu untung, kotor itu buntung,” bisa jadi pengingat semua pihak untuk berusaha menjaga lingkungannya tetap bersih dari praktek-praktek korupsi. Bagi APKINDO, komitmen ini bukan hanya demi citra asosiasi, tapi demi keberlanjutan bisnis di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Dengan langkah ini, APKINDO berharap bisa mengirim pesan kuat kepada pasar internasional: industri plywood Indonesia tidak hanya fokus pada volume ekspor dan keuntungan bisnis semata, tetapi juga pada integritas proses bisnis. Bagi KPK, kerja sama ini adalah bukti bahwa pencegahan korupsi efektif bila melibatkan semua pihak. Dan bagi publik, ini adalah harapan bahwa satu demi satu sektor akan mulai membersihkan dirinya — dari hulu ke hilir — agar roda ekonomi berputar tanpa harus melumasi dengan cara-cara yang melanggar hukum. (geo_rob)